Subscribe via RSS Feed If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Home » , » Evaluasi Kebijakan Pertanian Indonesia 2013

Evaluasi Kebijakan Pertanian Indonesia 2013

Written By trihanifa on Monday 4 November 2013 | 5:21 pm


Indonesia adalah negara terpadat ke-4 di dunia dan produsen terbesar ke-10 dalam bidang pertanian. Lahan pertanian dalam negara ini langka: sepertiga dari angka rata-rata dunia kalau diukur secara per kapita, tetapi relatif kaya dalam sumber air. Kontribusi sektor pertanian kepada PDB Indonesia hampir tidak berubah dari  15-16% sejak pertengahan tahun 1990-an, namun pangsanya dalam total serapan tenaga kerja, dalam periode yang sama turun dari 56% menjadi 36%. Di mana produksi tanaman pangan dihasilkan oleh petani-petani kecil, pertanian-pertanian komersial yang besar berfokus pada tumbuhan yang tetap hijau, khususnya kelapa sawit. Bagian kelapa sawit dan karet merupakan kira-kira 60% dari total ekspor agrobisnis pangan dan memberi kontribusi yang signifikan kepada surplus perdagangan agrobisnis pangan Indonesia. Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan, namun 13% dari jumlah penduduk masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan secara nasional dan sekitar setengah dari penduduk masih hidup dari kurang dari USD 2 PPP / orang / hari. Sumber daya alam dan lingkungan hidup  sangat tertekan, yang untuk sebagian disebabkan karena perluasan lahan pertanian menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah dalam skala besar. 

Mencapai swasembada dalam produksi makanan pokok pilihan adalah pendekatan utama pemerintah untuk menjamin pasokan pangan. Target swasembada yang harus dicapai pada tahun 2014 ditetapkan untuk beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi. Pemerintah ingin memastikan bahwa harga pangan terjangkau oleh konsumen dan agar pasokan didistribusikan di seluruh kawasan nusantara. Terkait erat dengan  hal  ini adalah tujuan untuk diversifikasi produksi dan konsumsi, meninggalkan  karbohidrat (beras dan gandum) menuju  produk hewani, buah-buahan dan sayuran, terutama  umbi-umbian. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan tingkat daya saing untuk produksi pertanian dan pengolahan yang bernilai plus, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendapatan yang lebih tinggi sebagai cara untuk mengurangi tingkat kemiskinan di daerah pedesaan (OECD, 2012).  

Langkah-langkah kebijakan domestik meliputi penerapan harga pembelian minimum untuk beras dan gula, alokasi anggaran yang substansial untuk  input, dan kompensasi untuk penyediaan jasa bidang pertanian umumnya, dan  secara khusus untuk irigasi, penelitian dan pengembangan,  pemasaran dan promosi. Berbagai subsidi  input  untuk pupuk, benih dan kredit dipakai  untuk mendukung para produsen pertanian. Pada gilirannya, RASKIN, suatu program dengan  target "beras untuk  kaum miskin" didasarkan pada distribusi beras dengan harga murah untuk menunjang konsumen miskin, termasuk penduduk daerah pedesaan yang memberi pemerintah fleksibilitas untuk memperbolehkan kenaikan yang konsisten untuk para produsen beras, yang lalu dibebankan pada pengeluaran  anggaran  untuk pembiayaannya. BULOG (Badan Logistik Nasional Indonesia), suatu badan publik,  wajib membeli beras dengan harga minimum yang  dijamin  oleh pemerintah, untuk menstabilkan harga beras domestik  melalui  operasi pasar, untuk mengelola cadangan beras pemerintah, dan untuk mendistribusikan beras kepada konsumen melalui RASKIN (OECD 2012).

Langkah-langkah kebijakan perdagangan mencakup  baik langkah-langkah tarif maupun non-tarif.  Rata-rata  tarif impor  MFN  untuk  produk  pertanian pangan,  tidak termasuk minuman beralkohol,  rendah: berkisar pada tingkatan  5% pada tahun 2010. Beras dan gula termasuk tarif tertentu. Monopoli impor, persyaratan perizinan dan pembatasan untuk ekspor produk pertanian,    telah dihapus pada tahun 1997-98. Namun, pada tahun 2000-an, pembatasan kuantitatif untuk  impor  diberlakukan kembali, secara khusus untuk  beras, gula dan daging sapi. Persyaratan impor  yang diberlakukan  untuk keamanan pangan,  SPS  dan alasan-alasan  budaya, semakin  ketat. Sebuah rezim pajak ekspor variabel mulai dijalankan untuk minyak sawit mentah dan produk-produk  turunan, dan baru-baru  ini juga untuk kakao (OECD, 2012).

Pada tanggal 18 Oktober 2012, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui UU Pangan yang baru, yang setelah ditandatangani oleh Presiden diundangkan pada tanggal 17 November 2012. Undang-undang ini menggantikan  undang-undang  sebelumnya, yang disetujui pada tahun 1996. Ia memperkuat prinsip-prinsip kedaulatan pangan dan kemandirian pangan  sebagai pendekatan-pendekatan yang dominan  untuk pasokan/keamanan  pangan. Sejalan dengan itu, undang-undang ini mengandung ketentuan yang membatasi impor  dan ekspor makanan pokok  , dan mendirikan otoritas makanan baru untuk menjamin persediaan pangan yang cukup. Secara khusus, Pasal 34 yang menyatakan bahwa "ekspor pangan negara hanya dapat dilakukan setelah  kebutuhan-kebutuhan Cadangan Pangan Nasional dan kebutuhan konsumsi pangan  dipenuhi". Pasal 36 menetapkan bahwa "impor pangan hanya dapat diterapkan jika produksi pangan domestik tidak cukup dan / atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri". Pada gilirannya, Pasal 126-128 memberi peluang untuk menciptakan ‘institusi pemerintah’ baru yang menjamin pasokan pangan, dengan tugas untuk menerapkan perintah pemerintah berkaitan dengan "produksi, pengadaan, penyimpanan dan / atau distribusi makanan pokok dan makanan lainnya yang telah ditentukan oleh pemerintah". Lembaga ini akan melapor langsung kepada Presiden. Lembaga utama ini harus dibentuk dan semua peraturan untuk penerapan UU Pangan harus ditetapkan paling lambat tiga tahun setelah diberlakukannya undang-undang ini (Deptan, 2013).  

Untuk melindungi konsumen miskin, pada tahun 2012 BULOG mendistribusikan dalam sistem RASKIN secara total 3,4 juta ton beras untuk 17,5 juta keluarga miskin,  di mana sekitar 65% di antaranya tinggal di daerah pedesaan (GAIN, ID1308 dan  OECD, 2012). Setiap keluarga menerima 15 kg beras per bulan dengan harga Rp 1.600/kg; berarti kurang dari sepertiga dari harga pembelian minimum,  diukur pada tingkat pengolahan  yang sama. Untuk mendukung  sistem  ini dibutuhkan alokasi anggaran yang besar. Biaya  total anggaran meningkat lebih dari sepertiga menjadi Rp 20,9 triliun (USD 2,2 miliar) pada tahun 2012 dan lebih besar dari jumlah  total  alokasi untuk  tunjangan petani dan pertanian pada umumnya (Deptan, 2013). Untuk memastikan bahwa pasokan beras cukup, termasuk untuk distribusi melalui RASKIN, di bulan September 2012 BULOG menandatangani nota kesepahaman (MOU) untuk mengimpor 1,5 juta ton beras per tahun dari Vietnam; jika perlu hingga tahun 2017. MOU lebih lanjut akan diupayakan dengan Thailand, Laos, Kamboja dan Myanmar. 

Produksi dan perdagangan gula tetap diatur secara ketat oleh pemerintah. Importir gula terdaftar harus membayar para petani tebu harga yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan izin istimewa mereka sebagai pengimpor gula. Tahun 2011 mereka diwajibkan untuk menunjang harga gula andaikata harganya jatuh di bawah Rp 7.000/kg (USD 799/ton) pada tingkat petani. Untuk tahun 2012, harga minimum dinaikkan menjadi Rp 8.100/kg (USD 866/ton). Untuk melindungi tingginya harga minimum, satu bulan sebelum musim giling, selama musim giling, dan dua bulan setelah musim giling impor gula dilarang. 

Sejalan dengan target swasembada untuk kedelai, dalam bulan Mei 2013 Keputusan Presiden Nomor 32 memberi mandat kepada BULOG untuk membeli dan mendistribusikan kedelai untuk menstabilkan harga kedelai. Berdasarkan SK tersebut, Kementrian Perdagangan (Deperdag)  ditugaskan  untuk menyiapkan keputusan menteri yang akan menetapkan  harga pembelian kedelai dan mekanisme intervensi yang sesuai. BULOG akan diberi mandat untuk mengelola saham domestik kedelai, untuk membeli kedelai dengan harga minimum dan untuk menjual dan mendistribusikan kedelai kepada koperasi tempe  kedelai dan produsen tahu (Deptan, 2013). 

Subsidi pupuk  tetap merupakan program  utama  yang dipakai pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran kepada sektor pertanian. Subsidi dibayarkan kepada produsen pupuk yang wajib menjual pupuk dengan harga yang disubsidi kepada petani yang memenuhi syarat - mereka yang bertani atas lahan kurang dari 2 ha. Pada tahun 2000-an, nilai subsidi ini meningkat secara dramatis berkat keputusan untuk mempertahankan subsidi pupuk pada tingkatan yang sama meskipun biaya produksi pupuk meningkat, tetapi lalu menurun diahun 2010-12. Pada tahun 2012 nilai subsidi ini sebesar Rp 14,0 triliun (USD 1,5 miliar), 15% di bawah tahun 2011 dan seperempat lebih sedikit dari rekor pada tahun 2009, tapi masih tetap merupakan 40% dari total pengeluaran anggaran yang disediakan untuk mendukung bidang pertanian (baik pada tingkat petani maupun sektor. 

Subsidi benih merupakan arus  transfer anggaran ke sektor pertanian  kedua terpenting. Petani-petani beras, jagung, kedelai dan gula adalah penerima bantuan utama, tetapi beberapa subsidi semacam ini juga disediakan untuk para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan pisang. Mereka dapat membeli bibit dengan harga yang disubsidi, mengajukan permohonan alokasi benih gratis  setiap tahun  dan menerima benih dalam  hal terjadinya bencana alam. Total nilai subsidi ini tertinggi pada tahun 2010, tetapi sejak itu menurun  dengan  hampir seperlima dan mencapai nilai sebesar Rp 1,3 triliun (USD 135 juta) pada tahun 2012.

Petani dapat mengakses kredit istimewa dengan suku bunga 5-7 persen di bawah suku bunga pasaran. Namun, fasilitas subsidi suku bunga belum sepenuhnya digunakan oleh para petani karena adanya kendala dalam mendapat persetujuan dari lembaga kreditor. Kesulitan utama masih tetap kurangnya jaminan karena tidak ada hak milik atas tanah. Untuk memecahkan masalah ini, dalam tahun 2005  telah diperkenalkan suatu pola jaminan kredit. Sejak 2008, suatu pola finansial pedesaan langsung mengalirkan dana kepada kelompok perhimpunan petani sebagai uang bibit yang bisa mereka pinjamkan kepada anggota-anggota mereka berdasarkan pola kredit mikro.  Dalam tahun 2012, total alokasi anggaran untuk berbagai program untuk mempermudah akses para petani ke kredit berjumlah Rp 584 miliar (USD 62 juta), hampir sepertiga lebih dari tahun 2011.  

Di antara bentuk-bentuk lain dari subsidi input, yang paling penting adalah bantuan yang diberikan  kepada para produsen tanaman panen  untuk mengurangi  kerugian pasca panen dan meningkatkan hasil panen. Pada 2012, total alokasi untuk program ini berjumlah Rp 260 miliar (USD 28 juta), dan kira-kira tiga perempat jumlah ini mengalir ke produsen beras. Irigasi menghabiskan sebagian besar dari tunjangan pemerintah untuk infrastruktur pertanian. Sebagai anggota Asosiasi Pengguna Air (APA), petani seharusnya membayar untuk biaya operasional, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem lokal (tersier) yang menyuplai mereka dengan air. Petani tidak dikenakan biaya untuk penyaluran air dari sumber ke sistem tersier melalui saluran primer dan sekunder, yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pengeluaran pemerintah telah meningkat selama tahun 2000-an, termasuk pembiayaan untuk membantu WUA dalam merehabilitasi saluran irigasi pada tingkatan petani, namun  Kementrian  Pekerjaan Umum menilai bahwa karena  tidak adanya  pendanaan yang memadai,  hanya 54% dari sistem irigasi di Indonesia kondisinya baik,  sisanya rusak dan membutuhkan rehabilitasi (OECD, 2012). 

Pembatasan kuantitatif untuk impor daging sapi  diberlakukan sebagai bagian dari serangkaian langkah untuk mencapai swasembada daging sapi pada 2014. Kuota untuk ternak hidup ini ditetapkan  setiap tahun dan, secara terpisah, untuk daging sapi dalam kotak dan didasarkan pada estimasi bandingan pasokan domestik dengan  kebutuhan. Kuota tersebut dialokasikan oleh Kementrian Perdagangan kepada importir dalam dua tahapan enam bulan: 1 Januari - 30 Juni dan 1 Juli - 31 Desember, berdasarkan volume historis. Kuota untuk ternak hidup  secara sistematis telah  dikurangi  dari 401.000 kepala di  tahun 2011 menjadi  283.000 pada  tahun 2012,  dan 267.000 pada tahun 2013. Untuk daging sapi kotak, kuota juga telah berkurang dari 100.000 ton pada 2011 menjadi 34.000 tahun 2012 dan 32.000 pada tahun 2013. Di hitung dalam berat, total kuota berkurang dengan lebih dari 172.000 ton pada tahun 2011 menjadi - sesuai rencana -  80.000 dalam tahun 2013 (Deptan, 2013). 

Persyaratan impor untuk keamanan pangan, karantina, pembakuan dan pembubuhan etiket, termasuk sertifikasi halal, menjadi lebih ketat. Impor pangan olahan mengharuskan baik registrasi produk maupun izin impor dari Departemen Kesehatan. Demikian pula impor produk hewani harus dengan persetujuan impor Deptan, disertai sertifikat halal dan berasal dari fasilitas pengolahan yang telah diperiksa oleh Deptan. 

Izin ekspor  dibutuhkan untuk setiap  angkutan  hewan dari jenis sapi  tertentu, beras,kacang-kacangan sawit dan biji-bijian, dan pupuk urea. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar pasokan produk ini cukup untuk pasar domestik. Sebaliknya ekspor dari beberapa produkpertanian tertentu diatur untuk memaksimalkan keuntungan di pasar: ekspor kopi dan karet dikendalikan dan menjadi bagian dari kesepakatan antar pemerintah, sedangkan pisang dan nanas (ke Jepang), dan ubi kayu (untuk Uni Eropa) diatur untuk memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh di bawah aturan akses pasaran spesifik untuk negara-negara tertentu. 

Indonesia menjadi anggota dari Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berpartisipasi dalam liberalisasi perdagangan antar anggota ASEAN dan mitra dagang utama mereka di wilayah tersebut, termasuk China , Jepang, India, Korea, Australia dan Selandia Baru. Perjanjian dengan Australia dan Selandia Baru bagi Indonesia mulai berlaku pada bulan Januari 2012.  Dan  pada tahun 2012 Indonesia  juga  menandatangani Preferential Trade Agreement  bilateral dengan Pakistan. Sebuah perjanjian liberalisasi perdagangan antara ASEAN dan Uni Eropa masih dalam tahap negosiasi. Perjanjian ini memuat ketentuan yang memungkinkan produk-produk sensitif untuk dikeluarkan dari komitmen penurunan tarif atau diberi jangka waktu yang lebih lama untuk  penerapannya, sehingga dampaknya terhadap perdagangan agrobisnis pangan terbatas (OECD, 2012). 

Sumber utama tulisan: 
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Agribisnis Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger